Selasa, 08 Maret 2011

Fase kepemimpinan Muslimin


Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman radliallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila


Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah)”. Kemudian beliau (Nabi) diam.”

(H.R. Ahmad dan Al Baihaqi. Misykatul Mashabih: Bab Al Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India. Halaman 461. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 273).

Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kaum muslimin berada dalam satu Jama’ah dan Imamah. Mereka hidup kompak di bawah pimpinan Allah dan Rasul-Nya.

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mendirikan perkumpulan, perserikatan, atau partai, apalagi negara, untuk mengamalkan wahyu Allah yang disampaikan kepada beliau. Setelah wahyu diterima, beliau mengamalkannya dan mendakwahkan kepada ummat manusia.

Kaum muslimin pun, memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti beliau. Dengan berjama’ah mereka mengamalkan wahyu Allah dan mengikuti perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Orang pertama yang memenuhi seruan Rasulullah ialah isteri beliau, Khadijah, dari kalangan wanita, Abu Bakar dari kalangan pria, serta Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah dari kalangan pemuda.

Jumlah kaum muslimin dan muslimat semakin hari semakin bertambah banyak, termasuk sahabat-sahabat besar, seperti Utsman bin Affan, Hamzah Bin Abdul Muthalib, Umar bin Khaththab, dan lain-lain.

Kaum muslimin yang mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan jama’ah pertama, Jama’ah Muslimin yang langsung dipimpin oleh beliau sendiri.

Masa kepemimpinan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kehidupan berjama’ah bersama kaum muslimin kurang lebih selama 23 tahun.

Zaman Khilafah dimulai sejak wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhum.

Mereka adalah para Khalifah yang dibenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai Khalifah yang mendapat petunjuk yang benar dari Allah. Bahkan, Rasulullah berwasiat kepada kaum muslimin agar berpegang teguh pada Sunnahnya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Rasulullah bersabda:
“Aku berwasiat kepada kamu agar tetap bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun yang memimpinmu adalah seorang budak Habsyi, karena orang yang hidup di antara kamu di kemudianku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin (para khalifah yang mendapat petunjuk yang benar). Hendaklah kamu pegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara yang baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan itu bid‘ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (H.R. Ahmad dari Irbadl bin Sariyah. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 126-127; Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, juz 4, halaman 200-201, hadits nomor 4607; Sunan At-Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul Itsmi, bab Maa Ja-a fil Akhdzi bis Sunnati wajtinabil bida’i, juz 5, halaman 44, hadits nomor 2676).

Sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Rasulullah Shalallahu alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin (11-40 H/632-661M) pun hidup kompak dan berjama’ah di bawah satu pimpinan.

Mereka tampil sebagai sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk sekalian manusia, hidup berjama’ah dengan satu pimpinan (Imam) yang memimpin ke arah taqwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib terjadi peristiwa yang menyebabkan keduanya menemui syahid. Peristiwa ini mengandung pelajaran bagi kaum muslimin agar tidak terjadi lagi.

Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin berkisar selama 30 tahun, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
“Khilafah pada ummatku adalah tiga puluh tahun, selanjutnya adalah Kerajaan.” (H.R. Abu Daud dari Safinah. Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, bab fi al Khulafau, Al-Maktabah Dahlan Indonesia, juz 4, halaman 211, hadits nomor 4646, 4647)

Setelah berakhirnya zaman Khilafah -yang menempuh jalan kenabian dengan kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, kaum muslimin memasuki zaman Mulkan Adlan (kerajaan yang menggigit) dan Mulkan Jabariyyah ( kerajaan yang menyombong)*.

Pada kedua zaman ini, kaum muslimin maju pesat dan penyebaran Islam pun meluas ke seluruh Jazirah Arabia, Asia Selatan, Afrika dan sebagian Eropa, namun mulai terjadi keretakan di dalam. Kepemimpinan secara Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diikuti Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin, mulai terhapus dan berganti dengan kepemimpinan secara turun-temurun (Kerajaan). Kesatuannya bukan lagi berbentuk Jama’ah, tetapi Mulkan (Kerajaan). Pada zhahirnya, kaum muslimin masih berada di bawah satu pimpinan, sampai Mulkan Adlan dan Mulkan Jabariyyah dihapuskan Allah subhanahu wa ta'ala.

Menurut tarikh, setelah syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sufyan tampil memimpin muslimin dan dialah yang merubah kepemimpinan muslimin menjadi Kerajaan. Dia menjadi Raja pertama dari keturunan Umayyah datuknya. Dalam sebuah atsar dari Abdurrahman bin Abi Bakrah disebutkan, bahwa Muawiyyah berkata pada Abi Bakrah: “Apakah kamu mengatakan kami Raja?, maka kami sungguh ridla denganRaja.” (Musnad Ahmad, juz 5, halaman 50, Fathur Rabbany, juz 23, halaman 13). Muawiyyah memegang kendali kepemimpinan muslimin dari 41-60 H (661-680 M), kemudian diteruskan oleh puteranya, Yazid, lalu diteruskan oleh turunan bani Umayyah lainnya sampai Raja terakhir, Marwan bin Muhammad bin Marwan (126-131 H/744-750 M), yang dilenyapkan oleh Abu Abbas As Saffah. Keturunan Umayyah, Abdurrahman ad Dakhiliy melarikan diri ke Andalusia, Spanyol dan meneruskan Mulkan bani Umayyah di sana dari 137-422 H (756-1031 M). Abu Abbas As Saffah, anak Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, mendirikan Mulkan Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M) di Irak dengan Baghdad sebagai ibukotanya. Raja terakhir dari Mulkan ini, Al Mu’tashim (640-656 H/1242-1258 M). Mulkan Abbasiyyah terhapus dengan datangnya bala tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu yang membumihanguskan Baghdad.

Keturunan Abbasiyyah lari ke Mesir dan meneruskan Mulkan Abbasiyyah di bawah pengaruh dinasti Mameluk Syarakasah di Kairo dari 659-923 H (1261-1517 M) sampai akhirnya Kerajaan Mameluk ditaklukkan oleh Sultan Salim dari Turki dan menawan Mutawakil ‘Alallah, keturunan Abbasiyyah terakhir yang menggunakan sebutan Khalifah, dan membawanya ke Istanbul. Setelah lenyapnya dinasti Abbasiyyah di Irak, maka menurut hadits Nabi, datang Mulkan Jabariyyah, dan berdasarkan tarikh, kepemimpinan muslimin setelah Abbasiyyah adalah Mulkan Utsmaniyyah., yang memegang kendali pimpinan ummat Islam dari 669-1342 H/1300-1924 M, dengan pusatnya di Istanbul (Turki). Kerajaan ini seperti juga pada zaman Mulkan Adlan menggunakan sebutan Khalifah, mulai Sultan Salim I (Sulaiman I) menduduki Mesir dan membawa keturunan Abbasiyyah terakhir yang memakai gelar Khalifah, Mutawakkil ‘Alallah, ke Istanbul, sampai Mulkan Utsmaniyyah terhapus pada tahun 1342 H (Maret 1924 M), setelah lebih dahulu pada 1 Nopember 1922 M Sultan Muhammad IV diturunkan dari tahtanya oleh Turki Muda Nasional pimpinan Muthafa Kemal Pasya (H. Abdul Halim Hasan, Tarich Tamaddun Islam, cet. Ke-3, 1940, Islamiyyah Medan, halaman 181, 188, 189; Adinegoro, Ensiklopedia Umum dalam bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, halaman 11, 12, 13, 195, 196; H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 238; Ensiklopedia Umum, halaman 213; Everyman’s Encyclopaedia, J.M. Dent & Sons, London, Volume II, halaman 760)

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan bahwa kaum muslimin akan kembali berada pada zaman Khilafah yang mengikuti jejak kenabian sebagaimana fase kedua, yaitu setelah diangkatnya fase keempat, Mulkan Jabariyyah.

Ini berarti bahwa harapan kaum muslimin untuk menikmati hidup berjama’ah dan berimamah yang menyebabkan terjalinnya ruhama (kasih sayang) antara sesama muslim, masih terbuka lebar. Setelah itu, “tsumma sakata”, Nabi diam.

Dari keseluruhan sejarah yang telah disebutkan di atas, tampak bahwa kaum muslimin, dari zaman ke zaman, berada di bawah satu pimpinan. Oleh karena itu, Imamah harus tetap ada.

Pembai’atan Abu Bakar Ash Shidiq yang dilakukan sebelum jenazah Rasulullah dikebumikan, memberi pengertian bahwa masalah kepemimpinan bagi kaum muslimin sangat fundamental (asasi). Kaum muslimin yang mengikuti Nabi dan mengakui kepemimpinan beliau serta Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin, merupakan satu Jama’ah Muslimin dengan satu Imam. Mereka telah mencapai tingkat dan martabat yang paling tinggi dan mulia di dunia, dan Insya Allah di akhirat, dalam kehidupan berjama’ah dengan bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan dalam firman-Nya, bahwa mereka adalah sebaik-baik ummat, menyeru pada kebaikan, mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah. (QS. Ali ‘Imran: 10)

Akan tetapi, laksana meteor yang jatuh ke bumi, cahaya cemerlang itu tidak beredar lama. Lebih kurang setengah abad saja -23 tahun masa kepemimpinan Rasulullah ditambah masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin Allah menyinarkan hamba-hamba-Nya sebagai sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk sekalian manusia dan menjadi suri teladan bagi muslimin yang hidup kemudian. Siapa yang dapat mengambil manfaat dari padanya, dialah yang mengerti isyarah dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Menurut tinjauan ad dien dan tarikh Islam, pimpinan terbaik yang bersifat sentral, sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampai Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyin hingga tahun keempat puluh hijrah, adalah pada masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq, Umar Bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Usaha penyatuan muslimin kembali setelah keruntuhan Utsmaniyyah, yaitu setelah Perang Dunia I, pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Di India, Syaukat Ali dan saudaranya, Muhammad Ali, berusaha untuk mengisi kevakuman kepemimpinan muslimin, yang disebut oleh pihak Barat sebagai, “Gerakan mendirikan khilafah kembali (Khilafah Movement)*.” Akan tetapi, karena pemahamannya politik, usaha tersebut menemui jalan buntu. Di Indonesia, usaha gerakan penyatuan muslimin dilakukan oleh pemuka kaum muslimin bersama Wali Al Fattaah. Akan tetapi bersifat temporer. Inisiatif dari H Oemar Said Tjokroaminoto (1299-1352 H/1882-1934 M), dalam satu kongres yang bersifat Nasional di Surabaya pada bulan Jumadil Awal 1343 H/Desember 1924 M. Hal ini menunjukkan adanya satu rasa penyatuan muslimin. Usaha tersebut diikuti dengan pengiriman utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam sedunia di Mekkah, Saudi Arabia, pada bulan Dzulqa’dah 1334 H (Juni 1926) atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud**.

Utusan dari Indonesia adalah Oemar Said Tjokroaminoto dari Syarekat Islam dan K. H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Keduanya menghadiri kongres tersebut bersama peserta muslimin dari berbagai negeri Islam dan hadir pula saat itu Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka*.

Akan tetapi, usaha kongres tersebut lagi-lagi mengalami kebuntuan karena para peserta terkesan memusyawarahkan masalah politik. Hal ini ditolak Saudi Arabia yang menegaskan bahwa kongres tersebut hanya membicarakan masalah Islam dan muslimin, bukan politik. Akhirnya, para peserta kongres pun pulang ke tanah airnya masing-masing dengan tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka.

Segala usaha tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengisi kevakuman kepemimpinan setelah berakhirnya Mulkan Utsmaniyah. Hal yang menunjukkan, bahwa ummat Islam lazimnya memiliki pimpinan dalam menghadapi dunia Barat atau Timur dan tujuan politik lainnya. Akan tetapi alasan-alasan itu tidaklah kuat. Alasan yang kuat adalah kehendak untuk melaksanakan Islam secara kaaffah dalam memenuhi perintah Allah berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terlepas sama sekali dari ikatan dan tujuan politik.
* Pada tahun 1337 H (1919 M) dibentuk Gerakan “All India Khilafat Conference” di India oleh beberapa pemimpin muslimin India. Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Selain melakukan penyelamatan kekhilafahan, perjuangan gerakan ini juga ditujukan kepada pengusiran Inggris dari India. Pada waktu itu Inggris menduduki negeri-negeri muslim di Timur Tengah umumnya dan khususnya melakukan penindasan di India. Harapan pertama gerakan Khilafat itu tertumpu pada kebijaksanaan Musthafa Kemal Pasya. Setelah mengadakan dua kali Konferensi –pertama di New Delhi, India, pada bulan Shafar 1338 H/23 November 1919 M), dan ke dua di Karachi, Syawal 1339 H/Juli 1921 M, yang antara lain menyanjung Musthafa Kemal Pasya. Akhirnya harapan gerakan tersebut hancur sesudah Musthafa Kemal Pasya menghapuskan Khilafah (yang digunakan Mulkan Utsmaniyyah) sama sekali di Turki, pada 4 Rajab 1342 H (3 Maret 1924 M). Harapan kemudian ditujukan kepada Abdul Azis bin Sa’ud (1297-1372 H/1880-1953 M), sebelum seluruh Jazirah Arabia jatuh ke tangannya dari Hussein bin Ali, tetapi kembali gagal. Sesudah itu gerakan ini tidak terdengar lagi kegiatannya hingga Syaukat Ali dan Muhammad Ali menghadiri Kongres Islam se dunia di Makkah pada tahun 1344 H (1926 M). Dalam pada itu diselenggarakan kongres Khalifah di Cairo, Mesir, 1-7 Dzulqa’dah 1344 H (13-19 Mei 1926 M) yang diprakarsai oleh para Ulama Al-Azhar. Tetapi kongres tersebut tidak membuahkan keputusan yang fundamental , kecuali hanya seruan agar muslimin menegakkan Khilafah (Ram Gopal, Indian Muslim, Asia Publishing House, Bombay, 1959, halaman 137, 149; Hamka, Ayahku, cetakan , 1982, Ummina, Jakarta, halaman 154; Adinegoro, Ensiklopedia Umum dalam bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, halaman 196; H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 154).

** Semula direncanakan akan mengirim delegasi ke Kongres Khilafah di Mesir, bulan Sya’ban 1343 H (Maret 1925 M), tetapi tidak jadi dilaksanakan, karena kongres itu sendiri tidak jadi diselenggarakan, sebab terjadi kemelut di Mesir dengan terbunuhnya Gubernur Jenderal Inggris untuk Sudan, Jenderal Sir Lee Tack, di Kairo, pada 20 Rabi’ul Akhir 1343 H/19 November 1924 M.

* Abdul Karim Amrullah disertai Abdullah Ahmad turut menghadiri Kongres Khalifah di Kairo, pada tanggal 1-7 Dzulqa’dah 1344 H/13-19 Mi 1926 M. (Hamka, Ayahku, halaman 153). Tetapi usaha kongres tersebut juga tidak berhasil (J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 239).

Jama’ah Muslimin Ditetapi Kembali Setelah Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta dan Kongres Muslimin Seluruh Indonesia (1-5 Rabiul Awal 1369 H/20-25 Desember 1949 M), kami mengadakan pertemuan di kediaman kami di Margo Kridonggo No.16 Yogyakarta. Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh Kyai Muhammad Ma’sum, seorang ‘alim ahli hadits, M. Saleh Suaedy, dan Mirza Sidharta dari kalangan pemuda, serta para ikhwan lainnya.

Masalah yang dibicarakan adalah penyatuan muslimin secara apa yang tampak pada sistem kepartaian. Namun, pertemuan tersebut, belum mampu menghasilkan cara terbaik untuk menghimpun umat Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian ikhwan yang hadir mengusulkan untuk mendirikan partai politik. Namun, usul tersebut tidak dapat kami terima, sebab pendirian partai politik hanyalah mencari kedudukan melalui jalan lain, dan ini tidak ada artinya dalam ad-Dien. Dan jika mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam, ini bukan lagi masalah prinsip, tetapi masalah kursi.

Kami terus mencari serta meneliti tentang cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghimpun muslimin dalam memperhambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan atau pengaruh politik. Hal ini ditujukan untuk persaksian sejarah, tidak ada maksud lain. Allah mengetahuinya. Demikian juga para ikhwan (rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan/pen) yang masih hidup pun dapat menyaksikan jalan sejarahnya.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala, pada awal tahun 1372 H (1953 M), mulai tampak bintik-bintik terang. Allah menunjukkan pengertian kepada kami tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama-sama umatnya berhimpun mengamalkan wahyu-wahyu Allah dan bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam.

Dengan takdir serta izin Allah semata, setelah berulang kali didiskusikan dan dimusyawarahkan, pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), ditetapilah Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang sebelumnya bernama Gerakan Islam “Hizbullah”. Ini bukan organisasi, partai, perserikatan dan bentuk lain yang sifatnya politis, melainkan berbentuk Jama’ah.

Ditetapinya kembali Jama'ah Muslimin (Hizbullah) ini merupakan perwujudan ketaatan dalam memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta'ala, yang disebutkan dalam Al-Qur`an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan kamu berserah diri (kepada Allah); Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Allah (Al-Qur`an) seraya berjama’ah, dan janganlah kamu berfirqah-firqah. Dan ingatlah oleh kamu akan nikmat Allah, yaitu ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu Allah melunakkan hati-hati kamu; kemudian dengan nikmat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu sekalian, mudah-mudahan kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 102-103)

Juga hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan, “…Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!" Sebagaimana hadits Nabi yang lengkapnya sbb: “Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu 'anhu, ia berkata, ”Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau dari hal keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku bertanya: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini, akan ada lagi keburukan?”Rasul menjawab: “ Ya!” Aku bertanya: “Dan apakah sesudah keburukan itu ada lagi kebaikan?” Rasul menjawab: “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).”Aku bertanya: “Apakah kekeruhan itu?” Rasul menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Dalam Riwayat Muslim, ”Kaum yang berperilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami.” Rasul menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan seperti itu?” Rasul bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Rasul bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau harus menggigit akar kayu hingga kematian mendatangimu, engkau tetap demikian.”(HR. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Kaifa Amru Idza lam Takun Jama’atun, juz 4 halaman 225. Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Amr biluzumil Jama’ah Inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 134-135. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, juz 2 halaman 1317, hadits nomor 3979).

Surat Ali ‘Imran ayat 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

dapat dijadikan suatu pegangan bahwa Allah sendiri yang memperingatkan kepada muslimin, sejak diturunkannya ayat tersebut sampai hari kiamat. Peringatan tersebut ialah agar muslimin berpegang teguh pada tali Allah, yaitu Al-Qur`an, dalam keadaan “Jami’an” dan jangan berpecah belah.

Sebagian mufasirin dengan tegas menjelaskan jami’an dengan berjama’ah. Itulah sebabnya kata jami’an diikuti kalimat walaa tafarraquu yang artinya, “Jangan kamu berpecah belah.” Namun, sekarang ini jami’an hanya diartikan kamu sekalian, bukan dalam arti keadaan berjama’ah, sehingga pengertian kalimat walaa tafarraquu menjadi keliru. Jadi, ada kata-kata, “Janganlah berpecah belah, bergolong-golongan, atau terpisah satu sama lain, berfirqah-firqah (yang merupakan mahfum mukhallafah atau larangan sebaliknya dari perintah wajibnya berjama’ah).”

Jama’ah tidak hanya jama’ah shalat atau jama’ah haji saja, melainkan kebersamaan kaum muslimin dengan satu Imamnya. Kebersamaan kaum muslimin secara berkelompok-kelompok bukan merupakan Jama’ah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Surat Ali Imran ayat 102-103 dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas mengandung satu kesatuan muslimin dengan satu pimpinan pula. Kalau menurut teori umum, ini berarti menyatupadukan muslimin sebagaimana yang dikehendaki Allah, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya:
“Perumpamaan mukminin dalam belas kasih dan hubungan mereka bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita, menjalarlah penderitaan itu ke seluruh tubuh sehingga tidak bisa tidur dan (merasa) panas.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radliallahu 'anhu; Shahih Bukhari, Darul Ma’rifah, Beirut, 1978 bab Rahmatunnasi wal Baha-im, juz 4 halaman 53. Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dzihim, juz 2 halaman 431)
Rasulullah pun menyatakan bahwa ikatan muslimin itu bagaikan bangunan yang saling menguatkan. Beliau bersabda: “Seorang mukmin pada sesama mukmin itu bagaikan bangunan yang sebagian menguatkan bagian lainnya.” (HR.. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radliallahu 'anhu. Shahih Bukhari, bab Ta’awanul mu’minin ba’dhuhum ba’dha, juz 4 halaman 55, Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dihim, juz 2 halaman 431).

Hadits ini menunjukkan bahwa Jama’ah Muslimin adalah bersatunya kaum muslimin laksana satu tubuh. Jika sebagian muslimin menderita, akan dirasakan penderitaannya itu oleh seluruh kaum muslimin.

Firman Allah subhanahu wa ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang memerintahkan kaum muslimin untuk menetapi satu Jama’ah dengan satu Imamnya juga mengandung satu arti konsolidasi. Kaum muslimin yang kini telah terpecah-belah menjadi firqah-firqah -dengan berbagai corak, seperti politik, sosial, dan ubudiyah-, agar menjadi satu ummat. Satu Jama’ah dengan motif mencari rahmat Allah, ridla Allah, memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, serta melaksanakan Kitab-Nya, Al-Qur`an. Bukan bermotif ekonomi, sosial, politik, dan lain-lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Bahwasanya dari hamba-hamba Allah, ada orang-orang yang mereka itu bukan Nabi bukan pula syuhada. Mereka menyerupai Nabi-Nabi dan syuhada-syuhada dalam kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu? ”Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang berkasih-kasihan karena rahmat Allah, bukan karena hubungan kekeluargaan dan bukan pula karena harta benda yang saling memberikan di antara mereka. Maka demi Allah, sesungguhnya wajah-wajah mereka itu nur dan bahwa mereka itu di atas nur dan tidaklah mereka gentar tatkala orang-orang merasa takut, dan tidaklah mereka bersedih hati ketika manusia bersedih hati.” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Ketahuilah bahwa kekasih-kekasih Allah itu tidak gentar dan tidak pula mereka itu bersedih.” (HR.. Abu Dawud dari Umar bin Khaththab, Sunan Abu Dawud, bab Rahn, juz 3 halaman 288 hadits nomor 3527).

Menetapi Jama’ah Muslimin dan Imamnya adalah sesuai dengan wajibnya ada pimpinan bagi umat Islam sedunia dan wajib adanya Jama’ah yang menyertainya. Dimana Muslimin Kini Berada?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Setelah itu, masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah. Misykatul Mashabih: Bab Al-Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India, halaman 461. Musnad Ahmad, Juz 4 halaman Dalam hadits ini disebutkan keadaan yang timbal balik, yaitu keadaan yang paling baik dan keadaan yang paling buruk, kemudian kembali dalam keadaan baik. Perubahan dari keadaan buruk menjadi keadaan baik kembali memerlukan perubahan yang bersifat mental, moral, dan ilmu. Apabila zaman kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), zaman yang paling buruk itu telah hilang, menurut hadis tersebut akan datang satu zaman yang disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kekhalifahan yang menempuh jejak kenabian.

Mengenai situasi perubahan dan peningkatan dari keadaan buruk sampai terwujudnya kembali zaman Khilafah, tergambar dengan jelas pada hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu 'anhu. Hadits ini menunjukkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mewujudkan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah dengan melaksanakan perintah Rasulullah:
“Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam bagi mereka.”
kecuali, bila peningkatan maksimal itu sudah tidak memungkinkan lagi -karena arus kejabariyyahan masih menderas, baik yang langsung melanda fisik, maupun yang melanda mental, yaitu meliputi bidang ilmu dan cara berpikir-, maka muslimin diperintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk: “Tinggalkan semua cara-cara (firqah-firqah), yang mencerai-beraikan umat itu! ”Berdasarkan akhir dari dua hadits:
sehingga tidak ada lagi ciri-ciri muslimin dalam masyarakat. Ini artinya manusia akan menghadapi kerusakan secara total, atau tegasnya Kiamat (wallahu ‘alam bish shawwab).

Sekarang timbul pertanyaan, “Dalam fase manakah kita dewasa ini?”Secara historis, dewasa ini kita berada dalam fase Khilafah dan Jama’ah. Karena itu, janganlah kita melewatkan fase tersebut, walau zaman yang sedang kita hadapi di dalamnya terjadi berbagai kerusakan dan hal-hal lainnya yang merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Insya Allah, kita belum sampai pada fase terakhir, yakni fase i’tizal.

Dengan memperhatikan sungguh-sungguh peredaran tarikh Islam sejalan dengan peredaran sejarah dunia, Insya Allah, kenyataan menunjukkan mulkan-mulkan itu telah berlalu. Di kalangan muslimin, mulkan-mulkan itu berakhir pada zaman ‘Utsmaniyyah di Turki dan Insya Allah, sesudah itu tidak ada lagi fungsi semacam kerajaan dalam memimpin ummat Islam. Di dunia Barat pun kita jumpai satu demi satu kerajaan atau monarki tumbang dan beralih pada demokrasi.

Mulkan-mulkan atau kerajaan Islam yang ada pada saat ini hanya tinggal beberapa buah saja. Dan lagi, bila ditinjau dari peredaran tarikh Islam itu sendiri, kerajaan-kerajaan itu hanyalah sisa-sisa dari mulkan-mulkan yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beralih ke zaman Khilafah, yaitu Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Zaman ini adalah zaman furqan, pemisah.

Kalau muslimin cenderung pada sistem Barat, mereka beralih pada demokrasi. Sebaliknya, bila cenderung pada Islam, mereka akan kembali pada apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu pada sistem kenabian atau Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah

Usaha penyatuan muslimin kembali setelah keruntuhan Utsmaniyyah, yaitu setelah Perang Dunia I, pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Di India, Syaukat Ali dan saudaranya, Muhammad Ali, berusaha untuk mengisi kevakuman kepemimpinan muslimin, yang disebut oleh pihak Barat sebagai, “Gerakan mendirikan khilafah kembali (Khilafah Movement)*.” Akan tetapi, karena pemahamannya politik, usaha tersebut menemui jalan buntu. Di Indonesia, usaha gerakan penyatuan muslimin dilakukan oleh pemuka kaum muslimin bersama Wali Al Fattaah. Akan tetapi bersifat temporer. Inisiatif dari H Oemar Said Tjokroaminoto (1299-1352 H/1882-1934 M), dalam satu kongres yang bersifat Nasional di Surabaya pada bulan Jumadil Awal 1343 H/Desember 1924 M. Hal ini menunjukkan adanya satu rasa penyatuan muslimin. Usaha tersebut diikuti dengan pengiriman utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam sedunia di Mekkah, Saudi Arabia, pada bulan Dzulqa’dah 1334 H (Juni 1926) atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud**.

Utusan dari Indonesia adalah Oemar Said Tjokroaminoto dari Syarekat Islam dan K. H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Keduanya menghadiri kongres tersebut bersama peserta muslimin dari berbagai negeri Islam dan hadir pula saat itu Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka*.

Akan tetapi, usaha kongres tersebut lagi-lagi mengalami kebuntuan karena para peserta terkesan memusyawarahkan masalah politik. Hal ini ditolak Saudi Arabia yang menegaskan bahwa kongres tersebut hanya membicarakan masalah Islam dan muslimin, bukan politik. Akhirnya, para peserta kongres pun pulang ke tanah airnya masing-masing dengan tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka.

Segala usaha tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengisi kevakuman kepemimpinan setelah berakhirnya Mulkan Utsmaniyah. Hal yang menunjukkan, bahwa ummat Islam lazimnya memiliki pimpinan dalam menghadapi dunia Barat atau Timur dan tujuan politik lainnya. Akan tetapi alasan-alasan itu tidaklah kuat. Alasan yang kuat adalah kehendak untuk melaksanakan Islam secara kaaffah dalam memenuhi perintah Allah berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terlepas sama sekali dari ikatan dan tujuan politik.

* Pada tahun 1337 H (1919 M) dibentuk Gerakan “All India Khilafat Conference” di India oleh beberapa pemimpin muslimin India. Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Selain melakukan penyelamatan kekhilafahan, perjuangan gerakan ini juga ditujukan kepada pengusiran Inggris dari India. Pada waktu itu Inggris menduduki negeri-negeri muslim di Timur Tengah umumnya dan khususnya melakukan penindasan di India. Harapan pertama gerakan Khilafat itu tertumpu pada kebijaksanaan Musthafa Kemal Pasya. Setelah mengadakan dua kali Konferensi –pertama di New Delhi, India, pada bulan Shafar 1338 H/23 November 1919 M), dan ke dua di Karachi, Syawal 1339 H/Juli 1921 M, yang antara lain menyanjung Musthafa Kemal Pasya. Akhirnya harapan gerakan tersebut hancur sesudah Musthafa Kemal Pasya menghapuskan Khilafah (yang digunakan Mulkan Utsmaniyyah) sama sekali di Turki, pada 4 Rajab 1342 H (3 Maret 1924 M). Harapan kemudian ditujukan kepada Abdul Azis bin Sa’ud (1297-1372 H/1880-1953 M), sebelum seluruh Jazirah Arabia jatuh ke tangannya dari Hussein bin Ali, tetapi kembali gagal. Sesudah itu gerakan ini tidak terdengar lagi kegiatannya hingga Syaukat Ali dan Muhammad Ali menghadiri Kongres Islam se dunia di Makkah pada tahun 1344 H (1926 M). Dalam pada itu diselenggarakan kongres Khalifah di Cairo, Mesir, 1-7 Dzulqa’dah 1344 H (13-19 Mei 1926 M) yang diprakarsai oleh para Ulama Al-Azhar. Tetapi kongres tersebut tidak membuahkan keputusan yang fundamental , kecuali hanya seruan agar muslimin menegakkan Khilafah (Ram Gopal, Indian Muslim, Asia Publishing House, Bombay, 1959, halaman 137, 149; Hamka, Ayahku, cetakan , 1982, Ummina, Jakarta, halaman 154; Adinegoro, Ensiklopedia Umum dalam bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, halaman 196; H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 154).

** Semula direncanakan akan mengirim delegasi ke Kongres Khilafah di Mesir, bulan Sya’ban 1343 H (Maret 1925 M), tetapi tidak jadi dilaksanakan, karena kongres itu sendiri tidak jadi diselenggarakan, sebab terjadi kemelut di Mesir dengan terbunuhnya Gubernur Jenderal Inggris untuk Sudan, Jenderal Sir Lee Tack, di Kairo, pada 20 Rabi’ul Akhir 1343 H/19 November 1924 M.

* Abdul Karim Amrullah disertai Abdullah Ahmad turut menghadiri Kongres Khalifah di Kairo, pada tanggal 1-7 Dzulqa’dah 1344 H/13-19 Mi 1926 M. (Hamka, Ayahku, halaman 153). Tetapi usaha kongres tersebut juga tidak berhasil (J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden. E.J. Brill, 1953 M, halaman 239).

Senin, 07 Maret 2011

pertanyaan sekitar Jamaah muslimin


Jama'ah Muslimin (Hizbullah)

  1. Apa pengertian Jama'ah Muslimin?

    Pengertian Jama'ah Muslimin (Al-Jama'ah) sebagaimana yang dijelaskan oleh sahabat Rasulullah shallalahu alaihi Wasallam yaitu : "Al-jamaatu huwa mujama'atu ahlulhaqqi wain qollu"(Al-jama'ah adalah tempat berkumpulnya ahli haq walaupun sedikit)
  2. Mengapa muslimin harus berjama'ah?

    Karena diperintah oleh Allah dan Rosul-Nya "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali(agama) Allah seraya berjama'ah dan janganlah bercerai berai" (QS. Ali Imran : 103) "…Tetapilah jama'ah Muslimin dan imam mereka" (HR. Bukhari Muslim)
  3. Apa pengertian Khilafah?

    Pengertian Khilafah secara etimologi adalah "penggantian", sedangkan secara terminologi adalah kekhilafahan/kepemimpinan di kalangaan umat Islam sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
  4. Bagaimana hubungan Jama'ah Muslimin dengan Khilafah?

    Jama'ah Muslimin adalah bentuk masyarakat Islam yang dipimpin oleh seorang Imaam. Khilafah adalah bentuk kepemimpinan masyarakat Islam dan ditakhsis oleh Rasulullah dengan Khilafah 'ala minhajin nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jejak kenabian), bukan semata-mata Khilafah.
  5. Apa pengertian Imaamah?

    Menurut lughah (etimologi) artinya sebagai kepemimpinan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) sama dengan pengertian khilafah.
  6. Apa pengertian Kholifah?

    Kholafah yang memimpin dalam Khilafah/Kekhilafahan.
    Jama'ah muslimin adalah perintah dari Rasulullah Shallalahu 'alaihi Wasallam.
  7. Apa perbedaan Jama'ah Muslimin dengan Jama'ah lainnya?

    Jama'ah Muslimin ada perintahnya dari Rasulullah Shallahu 'alaihi Wasallam "Taljamuu Jamaa'atal Muslimiina wa imaamahum" (Al-Hadits).
    Sedangkan selainnya tidak diketahui dalilnya.
  8. Apa pengertian Bai'at?

    Secara bahasa (etimologi) Bai'at artinya "menjual, barter harta atau perjanjian", sedang secara istilah (terminologi) Bai'at artinya "jual beli jiwa dan harta dari mu'min kepada Allah dengan Jannah".
  9. Apa syarat-syarat Bai'at?

    Syarat diterimanya bai'at adalah Muslim dan tidak syirik.
  10. Bai'at apa saja yang ada pada masa Rasulullah?

    Bai'at Aqobah ke-1 dan ke-2 (bai'atun nisa), Bai'atul jihad (perang), Bai'atur Ridlwan, dan Bai'at 'ala at Thaat.
  11. Apa perbedaan bai'at pada zaman Rasulullah dengan bai'at mengangkat khalifah?

    Bai'at pada zaman Rasul kepada Rasulullah, Bai'at khilafah membai'at seorang kholifah (Imaam) disebut juga Bai'atul Imaaroh (Membai'at seorang Amir).
  12. Apa alasan Jama'ah Muslimin mengklaim (menganggap) diri sebagai Jama'ah yang paling haq?

    Karena diperintahkan oleh Rasullullah dan merupakan Jama'ah yang pertama kali ditetapi oleh Muslimin setelah runtuhnya dinasti Utsmaniyyah di Turki.
  13. Bagaimana tanggapan Jama'ah Muslimin tentang pendapat yang menyatakan bahwa keberadaan Jama'ah Muslimin yang saat ini terkesan ekslusif?

    Mungkin karena mereka belum mengetahui Jama'ah Muslimin secara utuh (Karena kurang memperhatikan sunnah Rasullulah).
  14. Mengapa jika menetapi Jama'ah Muslimin harus melaksanakan bai'at?

    Karena mengikuti contoh/sunnah shahabat ketika mereka membai'at para Khulafaur rasyiddin sebagai Khalifah.
  15. Bagaimana proses pengangkatan Imaamul Muslimin dalam Jama'ah Muslimin?

    Proses pengangkatan Imaamul Muslimin atau pembai'atan Imaamul Muslimin tidak sulit, kita tinggal mencontoh proses pembai'atan Abu Bakar Shidiq menjadi khalifah, dan para Khalifah sesudahnya.
  16. Mengapa kontribusi Jama'ah Muslimin belum begitu terasa oleh umat Islam?

    Insya Allah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, Jama'ah Muslimin selalu memberikan konstribusi terhadap setiap persoalan yang dihadapi Muslimin. Setiap amal tidak perlu senantiasa ditampakkan/diperlihatkan, cukuplah Allah yang melihat.

  17. Apakah proses pencarian/penelusuran Jama'ah-Jama'ah yang ada di seluruh dunia pernah dilakukan lagi di masa sekarang di mana kondisi dunia sudah semakin terbuka?

    Usaha ke arah itu tetap terbuka dan kalau ada yang menyatakan lebih awal serta sesuai dengan khiththah Rasulullah maka Imaam beserta seluruh makmum siap untuk menjadi Ma'mum.
  18. Bagaimana jika muncul Jama'ah Muslimin yang baru dengan landasan yang sama dan didukung oleh mayoritas muslimin?

    Pelaksanaan syari'at berjama'ah tidak tergantung dari mendapat dukungan atau tidak, barometernya bukan dukungan dari manusia melainkan Al-Quran dan As-Sunnah.
  19. Mengapa Jama'ah Muslimin beranggapan bahwa "Islam Non Politik"?

    Pertama, Jama'ah Muslimin (Hizbullah) berkeyakinan bahwa Islam itu wahyu dari Allah Subhanahu Wa ta'ala yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa Sallam. Sedangkan politik adalah hasil karya pemikiran manusia. Kedua, adalah tidak benar kalau Rasulullah diberi amanat oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menyebarkan Risalah -Nya dengan jalan "menguasai" manusia di Mekkah dan di Madinah, namun Rasulullah menyebarkan Risalah-nya dengan jalan "tabligh" seperti dapat dilihat dalam Al-Qur`an (QS. 5 : 7). Rasul adalah pemberi nasehat dan memberi tahu hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia (QS. 7:62); mengajak/dakwah (QS. 16 :125).
  20. Bagaimana konsep perjuangan Jama'ah Muslimin dalam menyebarluaskan Syari'at Al-Jama'ah dewasa ini yang tidak bisa lepas dari politik?

    Konsep perjuangan Jama'ah Muslimin tidak akan keluar dari Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan Sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin dalam situasi dunia bagaimanapun.
  21. Bagaimana sikap Jama'ah Muslimin terhadap muslimin yang tidak melaksanakan ba'iat kepada Imaam Jama'ah Muslimin?

    Tetap menganggap mereka sebagai saudara seraya terus menasehati dan mengajaknya untuk sama-sama mengamalkan Islam secara "Kaffah" dalam Al-Jama'ah. Adapun mereka belum berbai'at tidak menjadi alasan ukhuwah sesama muslim menjadi putus.
  22. Bagaimana pandangan Jama'ah Muslimin terhadap kekuasaan?

    Fungsi kekuasaan adalah fungsi politik, sedangkan Jama'ah Muslimin non politik. Jadi mengatur hidup bermasyarakat umat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
  23. Bagaimana jika Jama'ah Muslimin diamanahi kekuasaan?

    Karena kekuasaan adalah milik Allah dan hanya akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, maka siapapun yang memperolehnya harus menunaikannya sesuai dengan perintah-Nya (Al-Qur`an dan Sunnah Rasul).
  24. Apa dasarnya bahwa Imaam pertama Jama'ah Muslimin itu adalah Wali Al-Fattah?

    Karena Wali Al-Fattah adalah orang pertama yang dibai'at sebagai Imaam bagi muslimin setelah runtuhnya dinasti Utsmaniyyah.
  25. Bagaimana hubungan Jama'ah Muslimin dengan Pemerintah Republik Indonesia?

    Hubungan Jama'ah Muslimin dan pemerintah Republik Indonesia alhamdulillah baik. Sebab Jama'ah Muslimin dalam setiap kegiatannya berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah (ibadah) dan UUD 1945 menjamin warga negaranya untuk beribadah sesuai dengan agama/keyakinan yang dianutnya.
  26. Bagaimana sistem (hierarki) kepemimpinan dalam Jama'ah Muslimin?

    Sistem (hierarki) kepemimpinan di Jama'ah Muslimin adalah sederhana, yaitu ada Imaam ada ma'mum. Imaam wajib menggembala ma'mumnya dan ma'mum pun wajib taat kepada Imaam selama Imaam taat kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
  27. Jika khilafah itu sudah ada, mengapa muslimin saat ini masih terpuruk dan menjadi objek mainan orang kafir?

    Masya Allahu kaana wa ma lam yasya lam yakun, la haula wala quwwata illa billahi. Setiap keadaan (menang atau kalah, jaya atau terpuruk) adalah ketetapan Allah subhanahu wa ta'ala yang perlu menjadi ibroh dan nasihat bagi muslimin. Jaya dan menang hanya akan diberikan kepada Muslimin saat Muslimin bersatu dalam satu Jama'ah dengan satu imaamnya dan tidak berpecah belah dalam bentuk berfirqoh-firqoh.
  28. Mengapa Imaam Jama'ah Muslimin tidak tampil ke permukaan mengambil alih urusan Islam dan Muslimin? Jika belum saatnya, kapan dan bagaimana?

    Sepanjang Muslimin tetap berfirqoh-firqoh dan memiliki pemimpinnya sendiri-sendiri, maka komando Imaam tidak akan ada artinya, karena tidak akan didengar dan ditaati. Ketaatan hanya akan diberikan oleh Muslimin yang sudah membai'atnya saja.
  29. Bagaimana sikap Jama'ah Muslimin terhadap perkembangan pemikiran khilafah yang saat ini semakin berkembang luas di tengah-tengah umat?

    Syari'at khilafah ini untuk diamalkan/dilaksanakan bukan hanya diseminarkan atau diperbincangkan, sebagaimana syari'at sholat, zakat, haji dan lain-lain
  30. Bagaimana agar konsep khilafah dan Jama'ah Muslimin ini terlihat realistis di kalangan umat Islam, tanpa menafikan kelompok lain?

    Dengan cara mempraktekkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari dan mengadakan ta'aruf, da'wah, ta'lim secara terbuka.
  31. Bagaimana Jama'ah Muslimin menanggapai sebagian umat Islam yang lebih memilih tidak membai'at seorang Imaam, asalkan hidup dan beribadah sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah?

    Kita serahkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sambil terus berusaha menyelenggarakan dakwah. Dalam hal ini masih banyak muslimin yang belum mengetahui akan pentingnya bai'at, padahal membai'at khalifah, berjama'ah dan taat adalah unsur-unsur penting dalam ikatan Islam. Sebagaimana atsar sahabat mengatakan: "Tidak akan tegak Islam itu kecuali dengan wujud jama'ah, dan tidak terwujud jama'ah kecuali adanya imaam, dan tidak ada imaam itu kecuali untuk ditaati ".
  32. Bagaimana sikap Jama'ah Muslimin terhadap anggapan bahwa orang-orang Al-Jama'ah lebih mementingkan ikhwannya?

    Ad-Diinu nashihah. Setiap amal yang menyalahi Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dilakukan oleh siapapun perlu diluruskan. Pada prinsipnya yang menjadi dasar acuan adalah prinsip-prinsip ta'awun yang diajarkan Islam itu sendiri

"Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman radliallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila


Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah)”. Kemudian beliau (Nabi) diam.”

(H.R. Ahmad dan Al Baihaqi. Misykatul Mashabih: Bab Al Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India. Halaman 461. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 273).

Rabu, 02 Maret 2011

Obat segala penyakit


Energi Penyembuh dalam Alquran

antara Sain dan Keyakinan (1)

 

Ada banyak pasien yang sembuh setiap hari karena membaca al-Qur’an. Kita tidak bisa menolaknya, karena kesembuhan itu benar-benar terjadi. Ini juga terjadi pada diri saya saat membaca ayat-ayat tertentu untuk penyakit tertentu, dan penyakit tersebut pun sembuh!
Setelah melakukan riset, maka salah satu hasil terpenting dari riset yang berlangsung selama beberapa tahun ini adalah: Dalam setiap ayat al-Qur’an Allah meletakkan daya penyembuh untuk penyakit tertentu apabila ayat-ayat ini dibaca dengan bilangan (pengulangan) tertentu.
Pada dasarnya, ketika kita mengamati alam di sekitar kita, maka kita menyadari bahwa setiap satuan atom itu bergetar dalam frekuensi tertentu, apakah atom itu adalah bagian dari metal, air, sel, atau apapun. Ini adalah fakta ilmiah.

Selasa, 01 Maret 2011

Proses ISLAM KAAFFAH


11  PROSES UNTUK KEMURNIAN IBADAH
KEPADA ALLAH
0LEH : NANA SURYANA :

Target Diagram

1.      Al Imaan :
Kata Iman dalam bahasa Arab ( أمن – يؤمن - إيمانا )  yang artinya percaya / yakin. Sedangkan menurut istilah sikap menerima secara I’tiqodi dalam hati, kemudian pengucapan dengan lisan(Syahadat), dan dilanjutkan dengan pengamalan oleh seluruh anggota badan( seperti contoh kalimat Aslamnaa = kami telah tunduk).

 قالت الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولما يدخل الإيمان في قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا يلتكم من أعمالكم شيئا إن الله غفور رحيم  
Al-Hujurot(49) : 14. orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Keimanan menumbuhkan keinginan(niyyat), maka niyyat merupakan amalan pertama dalam keimanan.

2.      An Niyyaat :
Niyyat merupakan sebuah hasil daripada keimanan dalam hati, jika kita menyatakan iman tetapi tidak ada niyyat untuk melaksanakan berarti keimanannya belum meningkat( masih ditahapan ke-1 ).
 انّماالأعمال بالنيات ، وإنّما لكلّ امرئ مانوى فمن كان هجرته إلى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ، ومن كان هجرته لدنيا يصيبها ، أومرأة ينكحها فهجرته الى ماهاجر اليه .  متفق عليه .
3.      Al Islaam :
Orang mukmin yang tunduk patuh terhadap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dialah Muslim. Seperti pengamalan : Syahadat, Sholat, Zakat, Shaum, dan Haji.
 يا أيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم كآفة ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين
QS. 2 Al-Baqoroh : 208.

4.      At Taqwaa  ( QS. 3 Ali Imroon 102 ).
Tunduk patuh atas dasar kecintaan, kerinduan terhadap Jannah dan ketakukan akan murka dari Allah(siksa neraka).  
Sikap taqwa kepada Allah akan menjadi dinding pemisah(Furqoonan) dan membimbing diri kita (hijrah) dari keburukan, kekufuran, dosa. QS.8 Al An Faal 29  . QS.11 Huud 114. QS.23 Al Mu’minuun 52 – 54. QS. 30 Ar Ruum 31 – 32.


5.      Al Jamaa’ah ( QS. 3 Ali Irmoon 103 )
·        Sebagai kata kunci untuk mencapai Taqwa dan tidak mati melainkan dalam keadaan Muslim adalah dengan cara hidup berjama’ah.
·        Berjam’ah merupakan syarat mendapatkan Rahmat dari Allah. ” Al Jamaa’atu Rohmatun Wal Furqotu ’Adaabun ” artinya : Berjama’ah akan mendatangkan Rahmat dan Berpecah-belah akam mendatangkan siksa.
·        Untuk hidup berjama’ah maka kita harus melalui QS 4 An Nisaa 59, yaitu Tho’at kepada Allah, Tho’at kepada Rosulullah dan kepada Ulil Amri.
·        Untuk mengangkat seorang Ulil Amri / Imaam / Kholifah, yaitu dengan melalui pintu QS 48 Al Fath ayat 10, yaitu dengan Bai’at.
·        Berbai’at kepada Imaam bukan proses masuk Islam, melainkan proses pernyataan keimanan dan ketunduk patuhan (tho’at) kepada Ulil Amri dalam menjalankan ibadah kepada Allah yang berdasarka kepada Sunnah Rosulullah .
·        Oleh karena itu bai’at merupakan sebuah proses jual beli antara hamba dengan kholik(Allah) sebagaimana QS. 9. At Taubah 111 .
·        Pelaksanaan Bai’at merupakan pengamalan rukun Islam yang pertama(Syahaadat).
·        Dengan pengertian untuk hidup berjama’ah harus Iman, Niat, Islam, Taqwa, syahadat / mengangkat kholifah dengan cara bai’at

6.      As Sam’u
Sam’u(mendengarkan) mencari sesuatu yang bernilai ibadah kepada Allah dan merupakan kewajiban pertama bagi orang muslim untuk senantiasa mendengarkan apa yang menjadi kewajiban diri terhadap Allah, Rosulullah, dan Ulil Amri

7.      Ath Thoo’ah
Ketho’atan kepada Kholifah atas dasar tho’at kepada Allah dan Sunnah Rosulullah merupakan perwujudan atau sikap orang muslim dalam berjama’ah( ‘Amaliayah Al Jama’ah ) dengan cara Fastabiqul khoiroot, sehingga Allah memberikan gelar Kuntum Khoiroot ( QS. 3 Al Imroon 110 ).
Shabat Umar berkata :
إنه لاإسلام إلا بجماعة ولا جماعة إلابإمارة ولاإمارة إلا بطاعة فمن سوّده قومه على الفقه كان حياة له ولهم ومن سوّده قومه على غير فقه كان هلاكا له ولهم .
Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada Jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali untuk ditha’ati. Maka barangsiapa kaumnya  yang mengangkat kepemimpinan atas dasar kefahaman(ilmu) baginya kesejahteraan, juga bagi kaumnya. Dan barangsiapa yang mengangkatnya bukan atas dasar kefahaman(ilmu), maka baginya kehancuran, juga bagi kaumnya. HR. Ad Dariimi dalam sunannya bab Dzihaabul ’Ilmi 1/79.

8.      Al Hijrah
Hijrah adalah pindah.
Jika kita Imaan berarti kita telah pindah dari kufur
Jika kita berniat berarti kita telah melangkah
Jika kita muslim berarti kita telah pindah dari jahiliyyah
Jika kita berjama’ah berarti telah pindah dari tafarruq ( Musyrik )

9.      Al Jihaad
Keimanan, perniatan, keislaman, ketaqwaan, berjama’ahnya kita, sam’unya kita, tho’atnya kita, hijrahnya kita, tidak akan kuat menghadapi segala godaan syetan la’natullah jika tidak diiringi motifasi Jihad di jalan Allah / Shiroothol Mustaqiim.
Kata Jihad yang penuh ma’na penguatan motifasi hidup berjama’ah dalam mengamalkan ISLAM SECARA KAAFFAH

10.  Al Ihsaan
Ihsan merupakan sikap / mental tauhid dalam beribadah kepada Allah : FII SABIILILLAH, LILLAH, MA’ALLAH. Karena Allah, Bersama Allah, dan di Jalan / berdasarkan syari’at Allah.

11.  Al Ikhlaash
Sikap berserah diri kepada Allah. Menyerahkan segala amal ibadah kita kepada Allah, dengan keyakinan
. . .  قال : فأخبرنى عن الإحسان ؟ ... قال : أن تعبد الله كأنك تراه فان لم تكن تراه فإنه يراك . . .
Menceritakan Ibnu Umar bin Khotob …… Malaikat bertanya kepada Rosulullah “ Apakah Ihsan itu ?...” Rosulullah bersabda : Bahwa kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah walau pun kamu tidak melihat Allah, maka sesungguhnya Allah itu melihat kamu ....... HR. Muslim.

Jawab atas pertanyaan :
Bagaimana dengan Nama yang Allah telah tetapkan yaitu " JAMA'AH MUSLIMIN " sebagai wadah pemersatu ummat dalam pengamalan dari  QS. Ali Imroon 103 ?...............